Nih Isyarat Etik Guru Indonesia
Kode Etik Guru Indonesia | Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan yakni bidang dedikasi terhadap ilahi yang maha esa, bangsa, dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia kepada Undang-Undang dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya impian Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. oleh lantaran itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sbagai berikut:
Dari sembilan isyarat etik tersebut diatas, makalah ini hanya membahas lima isyarat etik saja. Berikut secara rinci akan diuraikan satu-persatu.
1 Etika Guru Profesional Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pada butir kesembilan Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa “Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan”. Dengan terperinci bahwa dalam isyarat etik tersebut diatur bahwa guru di Indonesia harus taat akan peraturan perundang-undangan yang di buat oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasonal.
Guru merupakan aparatur negara dan abdi negara dalam bidang pendidikan. Oleh lantaran itu, guru mutlak harus mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan dan melaksanakannya sebagaimana hukum yang berlaku. Sebagai referensi pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi dan kemudian diubah lagi menjadi KTSP dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam kurikulum tersebut, secara eksplisit bahwa hendaknya guru memakai pendekatan kontekstual dalam pembelajarannya. Seorang guru yang profesional taat akan peraturan yang berlaku dengan cara menerapkan kebijakan pendidikan yang gres tersebut dan akan mendapatkan tantangan gres tersebut, yang nantinya diperlukan akan sanggup memacu produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.
2 Etika Guru Profesional Terhadap Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan terperinci dituliskan bahwa guru berbakti membimbing akseptor didik untuk membentuk insan seutuhnya yang berjiwa pancasila. Dalam membimbing anak didiknya Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga kalimat padat yang populer yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Dari ketiga kalimat tersebut, watak guru terhadap akseptor didik tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks ini.
Pertama, guru hendaknya memberi referensi yang baik bagi anak didiknya. Ada pepatah Sunda yang dekat ditelinga kita yaitu “Guru digugu dan Ditiru” (diikuti dan diteladani). Pepatah ini harus diperhatikan oleh guru sebagai tenaga pendidik. Guru yakni referensi nyata bagi anak didiknya. Semua tingkah laris guru hendaknya jadi teladan. Menurut Nurzaman (2005:3), keteladanan seorang guru merupakan perwujudan realisasi acara belajr mengajar, serta menanamkan sikap kepercayaan terhadap siswa.
Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat menghipnotis sikap siswa. Sebaliknya, seorang guru yang bersikap premanisme akan kuat jelek terhadap sikap dan moral siswa. Disamping itu, dalam memperlihatkan referensi kepada akseptor didik guru harus sanggup mencontohkan bagaimana bersifat objektif, terbuka akan kritikan, dan menghargai pendapat orang lain.
Kedua, guru harus sanggup menghipnotis dan mengendalikan anak didiknya. Dalam hal ini, prilaku dan langsung guru akan menjadi instrumen ampuh untuk mengubah prilaku akseptor didik. Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus ditakuti, tetapi hendaknya menjadi ‘teman’ bagi akseptor didik tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai seorang guru. Dengan hal itu guru sanggup menghipnotis dan bisa mengendalikan akseptor didik.
Ketiga, hendaknya guru menghargai potensi yang ada dalam keberagaman siswa. Bagi seorang guru, keberagaman siswa yang dihadapinya yakni sebuah wahana layanan profesional yang diembannya. Layanan profesional guru akan tampil dalam kemahiran memahami keberagaman potensi dan perkembangan akseptor didik, kemahiran mengintervensi perkembangan akseptor didik dan kemahiran mengakses perkembangan akseptor didik (Kartadinata, 2004:4).
Semua kemahiran tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sistematis, secara akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam sikap mendidik.
Sementara itu, prinsip insan seutuhnya dalam isyarat etik ini memandang insan sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak hanya dituntut berlimu pengetahuan tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan langsung akseptor didik, baik jasmani, rohani, sosial maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan supaya akseptor didik pada balasannya akan sanggup menjadi insan yang bisa menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Peserta didik tidak sanggup dipandang sebagai objek semata yang harus patuh pada kehendak dan kemauan guru.
3 Etika Guru Profesional Terhadap Pekerjaan
Pekerjaan guru yakni pekerjaan yang mulia. Sebagai seorang yang profesional , guru harus melayani masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar sanggup memperlihatkan layanan yang memuaskan masyarakat, guru harus sanggup menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan undangan masyarakat. Keinginan dan undangan ini selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi.
Oleh lantaran itu, guru selalu dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan meningkatkan dan berbagi mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik Guru Indonesia yang berbunyi “Guru secara langsung dan tolong-menolong berbagi dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”.
Secara profesional, guru dihentikan dilanda wabah completism, merasa diri sudah tepat dengan ilmu yang dimilikinya, melainkan harus mencar ilmu terus menerus (Kartadinata, 2004:1). Bagi seorang guru, mencar ilmu terus menerus yakni hal yang mutlak. Hal ini lantaran yang dihadapi yakni akseptor didik yang sedang berkembang dengan segala dinamikanya yang memerlukan pemahaman dan kearifan dalam bertindak dan menanganinya.
Untuk meningkatkan mutu profesinya, berdasarkan Soejipto dan kosasi ada ua cara yaitu cara formal dan cara informal. Secara formal artinya guru mengikuti pendidikan lanjutan dan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau acara ilmiah lainnya. Secara informal sanggup dilakukan melalui televisi, radio, koran, dan sebagainya.
4 Etika Guru Profesional Terhadap Tempat kerja
Sudah diketahui bersama bahwa suasana yang baik ditempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Ketidakoptimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak menjamin pemenuhan kiprah dan kewajiban guru secara optimal.
Dalam UU No. 20/2003 pasal 1 bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan kemudahan sekolah yang memadai secara merata dan bermutu diseluruh jenjang pendidikan. Jika ini terpenuhi, guru yang profesional harus bisa memanfaatkan kemudahan yang ada dalam rangka terwujudnya insan seutuhnya sesuai dengan Visi Pendidikan Nasional.
Disisi lain, kalau kita dihadapkan dengan kawasan kerja yang tidak mempunyai kemudahan yang memadai bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Bagaimana sikap kita sebagai seorang guru? Ternyata, keprofesionalan guru sangat diuji disini. Tanpa kemudahan yang memadai guru dituntut untuk tetap profesional dalam membimbing anak didik. Kreatifitas guru harus dikembangkan dalam situasi ibarat ini.
Berkaitan dengan ini, pendekatan pembelajaran kontekstual sanggup menjadi pemikiran para guru untuk lebih kreatif. Dalam pendekatan ini, diartikan seni administrasi mencar ilmu yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya drngan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, sikap profesional guru terhadap kawasan kerja juga dengan cara membuat relasi serasi di lingkungan kawasan kerja, baik di lingkungan sekolah, masyarakat maupun dengan orang bau tanah akseptor didik.
- Guru berbakti membimbing akseptor didik untuk membentuk insan Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
- Guru mempunyai dan melaksanakan kejujuran profesional.
- Guru berusaha memperoleh info wacana akseptor didik sebagai materi melaksanakan bimbingan dan pembinaan.
- Guru membuat suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses mencar ilmu mengajar.
- Guru memelihara relasi dengan orang bau tanah murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina kiprah serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
- Guru secara langsung dan tolong-menolong berbagi dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
- Guru memelihara relasi seprofesinya, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
- Guru secara tolong-menolong memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana usaha dan pengabdian.
- Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dari sembilan isyarat etik tersebut diatas, makalah ini hanya membahas lima isyarat etik saja. Berikut secara rinci akan diuraikan satu-persatu.
1 Etika Guru Profesional Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pada butir kesembilan Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa “Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan”. Dengan terperinci bahwa dalam isyarat etik tersebut diatur bahwa guru di Indonesia harus taat akan peraturan perundang-undangan yang di buat oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasonal.
Guru merupakan aparatur negara dan abdi negara dalam bidang pendidikan. Oleh lantaran itu, guru mutlak harus mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan dan melaksanakannya sebagaimana hukum yang berlaku. Sebagai referensi pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi dan kemudian diubah lagi menjadi KTSP dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam kurikulum tersebut, secara eksplisit bahwa hendaknya guru memakai pendekatan kontekstual dalam pembelajarannya. Seorang guru yang profesional taat akan peraturan yang berlaku dengan cara menerapkan kebijakan pendidikan yang gres tersebut dan akan mendapatkan tantangan gres tersebut, yang nantinya diperlukan akan sanggup memacu produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.
2 Etika Guru Profesional Terhadap Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan terperinci dituliskan bahwa guru berbakti membimbing akseptor didik untuk membentuk insan seutuhnya yang berjiwa pancasila. Dalam membimbing anak didiknya Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga kalimat padat yang populer yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Dari ketiga kalimat tersebut, watak guru terhadap akseptor didik tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks ini.
Pertama, guru hendaknya memberi referensi yang baik bagi anak didiknya. Ada pepatah Sunda yang dekat ditelinga kita yaitu “Guru digugu dan Ditiru” (diikuti dan diteladani). Pepatah ini harus diperhatikan oleh guru sebagai tenaga pendidik. Guru yakni referensi nyata bagi anak didiknya. Semua tingkah laris guru hendaknya jadi teladan. Menurut Nurzaman (2005:3), keteladanan seorang guru merupakan perwujudan realisasi acara belajr mengajar, serta menanamkan sikap kepercayaan terhadap siswa.
Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat menghipnotis sikap siswa. Sebaliknya, seorang guru yang bersikap premanisme akan kuat jelek terhadap sikap dan moral siswa. Disamping itu, dalam memperlihatkan referensi kepada akseptor didik guru harus sanggup mencontohkan bagaimana bersifat objektif, terbuka akan kritikan, dan menghargai pendapat orang lain.
Kedua, guru harus sanggup menghipnotis dan mengendalikan anak didiknya. Dalam hal ini, prilaku dan langsung guru akan menjadi instrumen ampuh untuk mengubah prilaku akseptor didik. Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus ditakuti, tetapi hendaknya menjadi ‘teman’ bagi akseptor didik tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai seorang guru. Dengan hal itu guru sanggup menghipnotis dan bisa mengendalikan akseptor didik.
Ketiga, hendaknya guru menghargai potensi yang ada dalam keberagaman siswa. Bagi seorang guru, keberagaman siswa yang dihadapinya yakni sebuah wahana layanan profesional yang diembannya. Layanan profesional guru akan tampil dalam kemahiran memahami keberagaman potensi dan perkembangan akseptor didik, kemahiran mengintervensi perkembangan akseptor didik dan kemahiran mengakses perkembangan akseptor didik (Kartadinata, 2004:4).
Semua kemahiran tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sistematis, secara akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam sikap mendidik.
Sementara itu, prinsip insan seutuhnya dalam isyarat etik ini memandang insan sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak hanya dituntut berlimu pengetahuan tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan langsung akseptor didik, baik jasmani, rohani, sosial maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan supaya akseptor didik pada balasannya akan sanggup menjadi insan yang bisa menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Peserta didik tidak sanggup dipandang sebagai objek semata yang harus patuh pada kehendak dan kemauan guru.
3 Etika Guru Profesional Terhadap Pekerjaan
Pekerjaan guru yakni pekerjaan yang mulia. Sebagai seorang yang profesional , guru harus melayani masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar sanggup memperlihatkan layanan yang memuaskan masyarakat, guru harus sanggup menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan undangan masyarakat. Keinginan dan undangan ini selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi.
Oleh lantaran itu, guru selalu dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan meningkatkan dan berbagi mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik Guru Indonesia yang berbunyi “Guru secara langsung dan tolong-menolong berbagi dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”.
Secara profesional, guru dihentikan dilanda wabah completism, merasa diri sudah tepat dengan ilmu yang dimilikinya, melainkan harus mencar ilmu terus menerus (Kartadinata, 2004:1). Bagi seorang guru, mencar ilmu terus menerus yakni hal yang mutlak. Hal ini lantaran yang dihadapi yakni akseptor didik yang sedang berkembang dengan segala dinamikanya yang memerlukan pemahaman dan kearifan dalam bertindak dan menanganinya.
Untuk meningkatkan mutu profesinya, berdasarkan Soejipto dan kosasi ada ua cara yaitu cara formal dan cara informal. Secara formal artinya guru mengikuti pendidikan lanjutan dan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau acara ilmiah lainnya. Secara informal sanggup dilakukan melalui televisi, radio, koran, dan sebagainya.
4 Etika Guru Profesional Terhadap Tempat kerja
Sudah diketahui bersama bahwa suasana yang baik ditempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Ketidakoptimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak menjamin pemenuhan kiprah dan kewajiban guru secara optimal.
Dalam UU No. 20/2003 pasal 1 bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan kemudahan sekolah yang memadai secara merata dan bermutu diseluruh jenjang pendidikan. Jika ini terpenuhi, guru yang profesional harus bisa memanfaatkan kemudahan yang ada dalam rangka terwujudnya insan seutuhnya sesuai dengan Visi Pendidikan Nasional.
Disisi lain, kalau kita dihadapkan dengan kawasan kerja yang tidak mempunyai kemudahan yang memadai bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Bagaimana sikap kita sebagai seorang guru? Ternyata, keprofesionalan guru sangat diuji disini. Tanpa kemudahan yang memadai guru dituntut untuk tetap profesional dalam membimbing anak didik. Kreatifitas guru harus dikembangkan dalam situasi ibarat ini.
Berkaitan dengan ini, pendekatan pembelajaran kontekstual sanggup menjadi pemikiran para guru untuk lebih kreatif. Dalam pendekatan ini, diartikan seni administrasi mencar ilmu yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya drngan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, sikap profesional guru terhadap kawasan kerja juga dengan cara membuat relasi serasi di lingkungan kawasan kerja, baik di lingkungan sekolah, masyarakat maupun dengan orang bau tanah akseptor didik.
Related Posts